Artikel ini ditulis oleh Daniel Kuhn, Deputy Managing Editor untuk Consensus Magazine di CoinDesk.
Yang paling mencolok adalah bahwa Bankman-Fried tampaknya masih enggan untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi, atau bahkan mengakui bagaimana neraca keuangan senilai USD8 miliar (atau setara Rp122,9 triliun) bisa menghilang begitu saja, bagaimana orang-orang kehilangan simpanan hidup mereka, atau fakta bahwa ia bisa menghabiskan beberapa dekade berikutnya dalam hidupnya dengan mendekam di penjara. Dan entah bagaimana, penyesalan terbesarnya masih terlihat dalam citra publiknya yang merosot, seolah-olah sidang pengadilan yang diadakan secara mingguan dan proses kebangkrutan FTX yang tengah berlangsung adalah tahap tergelincir dari perannya sebagai pemimpin yang rendah hati dan disenangi, yang semestinya dijalankan sepanjang hidupnya.
"Saya jatuh bangkrut dan mengenakan monitor di pergelangan kaki dan menjadi salah satu orang yang paling dibenci di dunia," tulis Bankman-Fried. "Mungkin tidak akan pernah ada yang bisa saya lakukan untuk membuat dampak positif seumur hidup saya."
NYT tidak memberikan petunjuk sebenarnya tentang mengapa atau kapan Bankman-Fried menulis ini, dan pada dasarnya ini adalah buku harian pribadi yang bocor ke media. Namun, ini mencerminkan sejauh mana rasa tidak percaya dirinya seseorang untuk mengungkapkan bahwa ia merasa seperti dalam kebangkrutan setelah kehilangan sejumlah besar uang yang dimiliki banyak orang.
Memang benar gaya hidup Bankman-Fried runtuh bersama dengan perusahaannya—ia sendiri memiliki selera tinggi terhadap real estate, jet pribadi, dan on-demand delivery atau pengiriman produk sesuai permintaan. Itu semua hanyalah contoh lain bagaimana reputasinya sebagai miliarder AS yang mengendarai mobil Corolla hanya menjadi sebuah kedok.
Lebih mengkhawatirkan lagi, Bankman-Fried dilaporkan menulis: "Dan kenyataannya adalah saya melakukan apa yang saya anggap benar." Jika digabungkan dengan kalimat di sebelumnya, ini menunjukkan bahwa ia memiliki mentalitas yang cenderung menghalalkan segala tindakan apapun demi mencapai tujuannya, yang mungkin menjadi sumber permasalahan yang ia hadapi sejak awal.
Banyak yang telah ditulis tentang jenis effective altruism yang dianut oleh Bankman-Fried dan mengapa ini menjadi kurang efektif ketika orang-orang yang mengejar keuntungan dengan cara apa pun berpikir bahwa mereka akan lebih berdampak dengan memilih cara untuk menyumbangkan kekayaannya. Namun, sebuah artikel terbaru di Bloomberg Businessweek yang membahas orang tua Bankman-Fried, yakni profesor dari Stanford Law School, Joseph Bankman dan Barbara Fried, menyoroti kembali bagaimana filosofi tertentu memiliki kemiripan dengan pandangan keluarganya.
Bankman dan Fried telah memberikan dukungan yang kuat kepada anak mereka sejak awal ketika ia mulai meraih ketenaran, dan mereka terus mendukungnya bahkan ketika ia menjadi sangat terkenal, meskipun kenyataan bahwa dirinya telah menghasilkan jutaan dolar dari investasinya yang berisiko dan melanggar beberapa jaminan. Bankman sendiri telah menjadi sosok yang akrab di FTX, karena dirinya sering menghadiri rapat-rapat dewan direksi yang berkaitan dengan bisnis yang bermasalah dan memberikan nasihat pajak.
Bloomberg melaporkan bahwa Bankman dikenal sebagai orang tua yang baik hati yang bertanggung jawab dalam menerjemahkan komentar putranya yang kadang-kadang tajam, dan ia juga berperan sebagai penasihat ketika Bankman-Fried berusaha mencari langkah yang dianggap "tepat".
Jika Bankman mewarisi "naluri bisnis" apapun dari ayahnya, tampaknya ia juga mewarisi seluruh sistem etika yang didasarkan pada nilai-nilai ibunya. Sam Bankman-Fried memiliki reputasi sebagai salah satu filsuf konsekuensialis terkemuka, yakni orang-orang yang secara serius mempertimbangkan dilema moral seperti Trolley Problem, atau skenario abstrak yang mengajukan pertanyaan apakah lebih baik membiarkan kereta api menabrak satu orang atau memutar tuas yang akan menyebabkan banyak orang terluka atau terbunuh.
Dan begitulah keluarga ‘dermawan’ ini, bersama dengan adik Sam yakni Gabe Bankman-Fried, yang mengelola organisasi amal yang sebagian besar didanai oleh uang dari FTX (dan yang juga menghabiskan waktunya merenungkan gagasan membeli pulau pribadi untuk melakukan penelitian sepanjang hidup tanpa gangguan). Namun, patut dipertanyakan, apakah para penganut konsekuensialisme benar-benar mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh konsekuensi dari tindakan mereka? Atau apakah kepemilikan properti di Bahama selalu menjadi tujuan akhir mereka?
Meskipun Bankman-Fried tampaknya tidak bersedia atau tidak mampu menghadapi pilihannya sendiri, dalam tulisan pribadinya tersebut ia menunjukkan rasa penyesalan terhadap kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Yang paling disesalkan, Bankman-Fried tampaknya telah membangun narasi yang sepenuhnya menyalahkan segala kesalahan tersebut kepada mantan pacarnya dan mantan karyawannya, Caroline Ellison. Pada satu titik, ia bahkan menuliskan bahwa Ellison yang bertanggung jawab atas satu perdagangan buruk yang menyebabkan kebangkrutan di FTX dan Alameda. Ia menegaskan bahwa Ellison yang gagal dalam melakukan lindung nilai terhadap Alameda.
Dan meskipun dia agak mengetahui tentang akun "Fiat@" yang digunakan untuk mencuri dana nasabah, Bankman-Fried menegaskan bahwa ia tidak terlibat dalam hal tersebut. Sebaliknya, pengacara dari firma hukum Sullivan & Cromwell, yang mengawasi proses kebangkrutan FTX, menciptakan narasi yang menuduhnya menyalahgunakan dana pengguna.
Anehnya, sebelum terperangkap dalam dunia yang dipenuhi masalah, Bankman-Fried tampaknya tidak terlalu memikirkan konsekuensi. Dan kini, ketika tujuannya yang diinginkan tampaknya tidak dapat tercapai, ia tetap tampak tidak terlalu peduli. Ini cukup memalukan, terutama mengingat dalam sebuah dokumen yang berjudul Truth, ia mengungkapkan, "Ini adalah sesuatu yang sangat saya yakini."